banner 1080x1921
banner 1080x1921
AmbonEkspose
AmbonEksposeAmbonEksposeAmbonEksposeAmbonEksposeAmbonEkspose
OPINI  

Kilas Balik Sistem Demokrasi di Indonesia, Refleksi Menjelang Hari Reformasi Indonesia

Oleh; Dr. Nur Aida Kubangun, M.Pd Dosen Pendidikan Sejarah FKIP Unpatti

Sejarah demokrasi di Indonesia adalah sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan pasang surut. Sejak proklamasi kemerdekaan 1945, bangsa ini berusaha mencari bentuk demokrasi yang sesuai dengan karakter masyarakat, kondisi sosial politik, serta nilai-nilai Pancasila. Perjalanan itu tidak selalu mulus, bahkan sering kali ditandai oleh ketegangan, konflik, dan perubahan sistem yang cukup drastis. Namun justru melalui dinamika inilah, demokrasi Indonesia tumbuh dan terus mengalami proses pendewasaan.

Pada awal kemerdekaan, Indonesia mencoba menerapkan sistem demokrasi parlementer atau demokrasi liberal. Konstitusi RIS dan kemudian UUDS 1950 memberikan ruang luas bagi partai-partai politik untuk berperan. Pemilu 1955 menjadi tonggak bersejarah sebagai pemilu pertama yang relatif jujur dan demokratis. Akan tetapi, fragmentasi politik yang sangat tajam membuat kabinet sering berganti, sehingga stabilitas politik terganggu. Demokrasi liberal memang menjamin kebebasan, tetapi gagal menghadirkan pemerintahan yang efektif.
Kondisi tersebut mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai lahirnya Demokrasi Terpimpin. Sistem ini memberi ruang besar bagi peran presiden dalam mengendalikan arah politik. Ideologi Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) diperkenalkan sebagai upaya menyatukan kekuatan bangsa, tetapi justru menimbulkan ketegangan. Demokrasi pada masa ini berubah menjadi sentralistik dan mengekang kebebasan politik. Puncaknya, peristiwa G30S 1965 mengguncang bangsa dan mengakhiri masa Demokrasi Terpimpin.
Memasuki Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, demokrasi diarahkan pada stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Demokrasi Pancasila dijadikan landasan, dengan Pemilu yang diselenggarakan setiap lima tahun. Namun, dalam praktiknya, kekuasaan terpusat pada presiden dan Golkar selalu mendominasi jalannya politik. Kebebasan pers dibatasi, oposisi ditekan, dan kehidupan demokrasi lebih bersifat prosedural ketimbang substansial. Meski pembangunan ekonomi berjalan pesat, masalah korupsi, kolusi, nepotisme, dan ketidakadilan sosial menumpuk hingga akhirnya krisis moneter 1997 menjadi titik balik runtuhnya Orde Baru.
Era Reformasi yang dimulai sejak 1998 membuka babak baru bagi demokrasi Indonesia. Sistem politik mengalami transformasi besar: UUD 1945 diamandemen, lembaga-lembaga negara diperkuat, dan presiden dipilih langsung oleh rakyat. Kebebasan pers dan kebebasan berpendapat dijamin, desentralisasi pemerintahan diterapkan, dan ruang partisipasi politik rakyat semakin terbuka. Namun demikian, demokrasi reformasi juga menghadapi tantangan serius, seperti maraknya politik uang diberbagai momen nasional, regional maupun lokal yang terjadi pada semua sistem pemerintahan baik itu legeslatif, eksekutif maupun yudikatif, sistem oligarki yang sedianya adalah kedaulatan ditangan rakyat, bisa dilihat pada masa Orde Baru: kekuasaan sangat terpusat pada Presiden dan lingkaran elite politik-militer, sementara pengusaha yang dekat dengan rezim mendapat keuntungan besar, di Era Reformasi meski sistem politik lebih terbuka, oligarki tetap bertahan dengan wajah baru. Elite politik dan pengusaha membangun jaringan untuk menguasai partai, memanfaatkan politik uang, dan mengendalikan kebijakan public, sementara kita dapat melihat Kondisi sekarang oligarki tampak dalam dominasi elite partai politik, konglomerasi media, serta relasi kuat antara pengusaha dan pejabat negara. Polarisasi identitas,bisa dilihat Ketika runtuhnya orde baru terjadi kerusuhan yang beralaskan SARA terjadi dimana-mana, pembantaian, penjarahan yang mengakibatkan kerugian baik itu secara matrial bahkan ribuan nyawa hilang, orang tua kehilangan anak-anak mereka, demikian juga banyak anak yang kehilangan orang tua, bahkan satu keluarga dibantai tanpa perikemanusian, serta kasus-kasus korupsi di lembaga negara, bagaikan nyanyian yang mendaya setiap saat kita mendengar dan membaca berbagai media sosial yang menayangkan perilaku buruk dari tiap penguasa mulai dari yang paling rendah dari desa sampai ke pemerintahan pusat sebagai simbol tertinggi dari negara tercinta ini, ditangkap dipenjarakan tapi tidak membuat jera para koruptor di negeri ini, adakah hukum yang layak untuk mereka.
Kilas balik perjalanan demokrasi Indonesia menunjukkan bahwa demokrasi di negeri ini tidaklah statis, melainkan senantiasa mengalami pasang surut sesuai dinamika zaman. Demokrasi liberal pernah memberi kebebasan yang terlalu luas, demokrasi terpimpin menekankan kepemimpinan kuat hingga mengekang partisipasi rakyat, Orde Baru menampilkan stabilitas semu dengan menekan kebebasan, sementara era reformasi membuka kebebasan lebar-lebar tetapi menghadapi tantangan kualitas dan krisis moral.
Oleh karena itu, demokrasi Indonesia ke depan harus terus diarahkan untuk lebih substantif, bukan hanya prosedural. Demokrasi bukan sekadar pemilu lima tahunan, melainkan sarana untuk mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dengan belajar dari dinamika sejarah, bangsa Indonesia diharapkan dapat memperkuat demokrasi yang berakar pada nilai-nilai Pancasila, sehingga benar-benar mampu menjadi sistem politik yang mencerminkan jati diri bangsa sekaligus menjawab tuntutan zaman.

AmbonEksposeAmbonEksposeAmbonEksposeAmbonEksposeAmbonEksposeAmbonEkspose
error: Konten Dilindungi !