AmbonEkspose.com—Gelombang tuntutan pemekaran Kota Lease kembali menguat setelah para raja dan saniri se-Pulau Haruku menggelar deklarasi besar di Pantai Totu, Desa Haruku, Maluku Tengah. Aksi ini menandai sikap terbuka masyarakat adat Lease yang menilai ketertinggalan pembangunan sudah berada pada titik yang tidak bisa lagi ditoleransi.
Deklarasi yang berlangsung Selasa (18/ 11/2025) itu menjadi momen penting karena dihadiri para pemangku adat, tokoh agama, pimpinan kecamatan, serta Konsorsium Lease yang selama ini mendorong agenda pemekaran wilayah. Deklarasi dibacakan langsung oleh Raja Negeri Haruku, Japy Ferdinandus, di hadapan perwakilan 11 negeri di Pulau Haruku.

“Selama bergabung dengan Maluku Tengah sejak Indonesia merdeka, pulau-pulau Lease, khususnya Haruku, Saparua, dan Nusalaut, tidak berkembang. Pembangunan lambat dan cenderung tertinggal dibanding wilayah lain di Maluku maupun Indonesia,” kata Raja Negeri Haruku Japy Ferdinandus.
Dalam deklarasi tersebut ditegaskan bahwa masyarakat adat Lease merasa telah cukup lama bersabar. Mereka menilai pemerintah kabupaten, provinsi, hingga pusat gagal memberikan perhatian serius terhadap percepatan pembangunan, infrastruktur dasar, dan pemerataan pelayanan publik.

Sementara, penyerahan dokumen berupa keputusan bersama raja dan Saniri negeri sekecamatan Pulau Haruku diserahkan oleh Ketua Saniri Negeri Rohomony Halim Tuheteru.
“Hari ini kami menyerahkan dukungan kepada Konsorsium Lease untuk membawa aspirasi ini kepada pemerintah Maluku Tengah, pemerintah provinsi, hingga pemerintah pusat. Kami ingin perubahan nyata, bukan janji,” kata Ketua Saniri Rohomony, Halim Tuheteru.

Dokumen dukungan itu langsung diterima oleh Ketua Konsorsium Lease, Prof Nus Sapteno, yang dianggap sebagai figur akademik sekaligus tokoh strategis yang mampu mengawal proses politik pemekaran hingga ke tingkat nasional. Penyerahan dokumen ini menjadi penegasan bahwa desakan masyarakat bukan lagi sebatas pembicaraan, melainkan langkah sistematis yang disiapkan secara formal.
“Kami akan membawa amanah ini dan memperjuangkannya sesuai mekanisme hukum serta kebijakan nasional. Aspirasi masyarakat ini akan diteruskan kepada peneribtah,” kata Ketua Konsorsium Lease, Nus Sapteno.

Deklarasi ini memicu gelombang pertanyaan publik terkait respons pemerintah daerah yang selama ini dianggap abai. Banyak pihak menilai, jika pemerintah kembali diam, tekanan sosial dan politik di Pulau-pulau Lease berpotensi memanas, mengingat tuntutan pemekaran sudah bergema bertahun-tahun tanpa kejelasan.
Acara deklarasi ditutup dengan makan patita bersama sebagai simbol persatuan masyarakat adat Pulau Haruku. Setelah itu, tim Konsorsium Lease kembali ke Ambon membawa dokumen aspirasi yang kini menjadi bola panas di meja pemerintah daerah maupun pusat.
Dengan kerasnya tuntutan yang disuarakan para raja dan saniri, pemekaran Kota Lease kini berada pada titik kritis. Pemerintah daerah maupun pusat dituntut mengambil sikap jelas agar tidak dianggap terus mengabaikan masyarakat adat yang selama puluhan tahun menunggu perubahan nyata.
Menanggapi deklarasi bersama para raja dan Saniri di Pulau Haruku, Tokoh masyarakat Aboru, Wem Nahumury, menegaskan bahwa deklarasi ini bukan seremonial biasa, melainkan bentuk akumulasi kekecewaan masyarakat adat yang selama ini merasa dianaktirikan pembangunan. Ia menilai pemerintah wajib menanggapi deklarasi tersebut dengan serius, bukan sekadar retorika.
“Ini tuntutan masyarakat adat. Jangan tunggu sampai mereka menarik legitimasi sosial terhadap pemerintah kabupaten. Pemekaran Kota Lease adalah solusi yang tak bisa lagi dihindari,” kata Wem Nahumury. (*)






















